PEKAN lalu, stakeholder Migas Indonesia dikejutkan dengan penunjukkan Ari Soemarno. Mantan Direktur Utama (Dirut) Petral dan sekaligus Pertamina itu ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Kerja Energi dan Anti Mafia Minyak dan Gas (Migas) oleh Tim Transisi Jokowi-JK.
Menariknya pengumuman di sampaikan langsung sang adik, Rini Soemarno, tanpa canggung Rini menyampaikan ke publik Ari Soemarno, sang kakak dipilih karena diyakini cukup kompeten dalam menyelesaikan persoalan Migas selama ini. Ari Soemarno yang pernah menjabat Dirut Pertamina antara 2006-2009, juga pernah menjabat sebagai Dirut PT Pertamina Energy Trading (Petral), anak perusahaan Pertamina yang bergerak dalam bidang ekspor dan impor minyak.
Kemunculan Ari Soemarno nampaknya akan mengundang kontroversi dari berbagai kalangan pelaku Migas dan Stakeholder Energi pada umumnya. Sebab alumni Universitas Aachen, Jerman, pernah juga dipercaya sebagai Staf Khusus Direktur Hilir dan Direktur Utama Petral. Dengan demikian, terkait strategi apa yang hendak dia lakukan untuk menangani berbagai masalah krusial Migas, pastinya ada beberapa cerita lama terkait perannya di Petral di masa lalu, yang kiranya menarik untuk diungkap.
Kenyataan bahwa Indonesia saat ini mengimpor minyak 500 ribu barel per hari. Sungguh mengagetkan ketika Tim Transisi Jokowi-JK sempat melontarkan wacana “Pembubaran Petral.” dan sehari setelah itu mereka buru-buru membantah. Bahkan Jokowi pun ikut menganulir pembebasan Petral. Melalui cara bagaimana kita mendapatkan pasokan minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyak masyarakat Indonesia yang per harinya mencapai 1,5 juta barel per hari?
Menteri BUMN Dahlan Iskan sempat menggagas hal yang cukup menarik. Menurut big bos Jawa Pos Group ini, menggagas agar Pertamina agar membeli minyak langsung dari sumbernya. Bukan dari pihak ketiga seperti Petral. Masalah krusial dari gagasan Dahlan ini adalah, hal ini tidak mungkin bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Sebagaimana diakui sendiri oleh Dahlan Iskan, Pertamina perlu waktu untuk mencari posisi kilang atau sumber kilang dunia. Dengan kata lain, gagasan Tim Transisi untuk membubarkan Petral tanpa ada konsepsi yang strategis untuk memenuhi pengadaan minyak sesuai meningkatnya kebutuhan konsumsi minyak masyarakat Indonesia.
Gagasan pembubaran Petral justru akan mengundang berbagai kecurigaan dan sinisme, ketimbang solusi pemecahan jangka pendek dan menengah. Katakanlah dengan pembubaran Petral, kita masih tetap harus mengimpor minyak. Lalu siapa yang dalam jangka pendek harus menggantikan peran yang selama ini dimainkan oleh Petral?
Jantung Mafia Migas di Pertamina
Untuk menjawab hal ini, mari kita buka kembali cerita soal yang namanya ISC (Integrated Supply Chain) Pertamina yang selama ini melakukan kontrol pengawasan terhadap Petral. Sehingga ISC Pertamina inilah yang secara de facto dan de jure menguasai Petral. Dan orang yang paling berkuasa di ISC ini adalah Ari Soemarno. Karena Ari Soemarno lah yang membentuk ISC pada 2008.
ISC terdiri dari 3 orang Board(Dewan), 3 Direksi dan 1 orang Koordinator. Dengan demikian, melalui ISC Pertamina inilah skema tata kelola Migas Ari Soemarno ke depan nampaknya patut kita cermati. Betapa tidak, karena ternyata ISC punya kekuasaan yang sangat kuat. ISC ini bisa beri order (pemesanan) via Petral baik yang secara periodik maupun ad hoc. ISC ini pula punya wewenang untuk menentukan pemenang dan penetapan harga di dalam tender Petral.
Menariknya lagi, ISC ini juga ternyata bisa melakukan trading di luar Petral, misalnya ke Aljazair, Irak dan National Oil Company. Dengan begitu, pertanyaan substansial kita saat ini adalah, apakah signifikan untuk membubarkan Petral jika tujuan sesungguhnya adalah untuk memerangi dan memberantas Mafia Migas. Jika pada kenyataannya ISC Pertamina inilah yang selama ini menentukan harga, tender dan quotation product.
Apakah dengan pembubaran Petral pada perkembangannya justru akan mengkondisikan Ari Soemarno cs untuk menjadi penguasa Migas baru? Bisa jadi. Ari Soemarno ketika masih Dirut Pertamina sempat mengklaim, ISC akan membuat pengadaan minyak mentah dan BBM menjadi lebih efisien dan transparan. Sebab, ISC akan menggabungkan fungsi pengadaan minyak mentah dan BBM yang sebelumnya terpisah di bawah kewenangan Direktorat Pengolahan dan Direktorat Pemasaran dan Niaga.
ISC Pertamina dibentuk berdasarkan persetujuan Dewan Komisaris pada 17 September 2008. Namun sejak awal pembentukannya, ISC mendapat kecaman dan ketidaksetujuan dari berbagai pihak.
Komisaris Independen Pertamina Umar Said dalam surat No 286/K/DK/2008 tertanggal 2 September 2008 kepada Dewan Komisaris menyatakan tidak sependapat (decenting opinion) dengan pembentukan ISC Pertamina. Menurut Umar, ISC sebaiknya tidak berada di bawah Dirut, namun Direktur Umum dan SDM.
Hal yang sama juga disampaikan dua Komisaris Pertamina lainnya, Muhammad Abduh dalam surat No 296/K/DK/2008 tertanggal 9B September 2008 dan Maizar Rahman melalui surat No 309/K/DK/2008 tertanggal 16 September 2008.
Menurut Abduh, keberadaan ISC yang langsung berada di bawah Dirut membuat Dirut berfungsi pula dalam hal operasional. Padahal, seharusnya Dirut tidak boleh terlibat dalam operasional.
Baik Abduh maupun Umar juga tidak setuju dengan fungsi ISC yang bertindak sebagai perencana sekaligus pelaksana. Sesuai dengan tata manajemen yang baik, seharusnya fungsi perencana dan pelaksana dilakukan terpisah namun surat Dewan Komisaris No R-310/K/DK/2008 tertanggal 17 September 2008 kepada Dirut Pertamina akhirnya menyetujui pembentukan ISC, meski baik Umar Said dan M Abduh menyatakan "decenting opinion".
Persetujuan Dewan Komisaris yang terdiri atas Komisaris Utama Endriartono Sutarto dengan komisaris Umar Said, Muhammad Abduh, dan Maizar Rahman itu disertai beberapa catatan di antaranya, ISC Pertamina harus dapat menyelaraskan pengadaan minyak mentah dan BBM buat kebutuhan kilang dan pemasaran, tapi sampai saat ini pun yang terjadi adalah penghambatan pembangunan kilang baru, bukan malah memfasilitasi dan mempercepat pembangunan kilang.
sumber : RMOL
No comments:
Post a Comment