Thursday, February 12, 2015
Presiden Lama & Mafia Migas Nangis: 10 Hari Pemerintahan Joko Widodo “Save” Rp 15 Triliun dari Sektor Migas
Belum Genap sebulan, Pemerintahan Joko Widodo, membuat malu mafia migas dan Presiden pendahulunya. Hal ini terkait dengan kontrak kerja sama migas dengan Angola. Sebelumnya migas menjadi “momok” dan sumber kebangkrutan negara lantaran korupsi besar-besaran yang dilakukan pejabat negara, pertamina dan pengusaha baik swasta asing maupun dalam negeri.
Bagi Rakyat Indoensia Migas merupakan salah satu sumber hidup dan sumber dana roda perekonomian negara. Sayangnya sejak jaman Soeharto, migas dijadikan baranag permainan dan sumber korupsi nomor satu di negeri ini.
Dan sejak jaman Soeharto pula eksploitasi bahan mineral termasuk migas dikuasakan pada swasta asing dan dalam negeri sehingga guna pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah menggunakan pinjaman luar negeri. Akhirnya guna membiayai APBN, negeri ini berkubang dengan pinjaman asing hingga detik ini.
Ini adalah gambar setelah penandatanganan MoU. Tampak dalam gambar Plt. Direktur Utama Pertamina, Muhamad Husen, dengan Chairman of Board of Director Sonangol EP, Francisco de Lemos Jose Maria, terkait pengembangan bisnis hulu, hilir, dan perdagangan migas di kantor Wakil Presiden RI, Jalan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat, (31/10/2014). Penandatangan itu disaksikan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla dan Wakil Presiden Republik Angola, Manuel Domingos Vicente.
PT Pertamina (Persero) menjalin kesepakatan kerja sama dengan Sonangol EP, perusahaan migas nasional Angola, terkait pengembangan bisnis hulu, hilir, dan perdagangan migas.
Kesepakatan tersebut dikukuhkan melalui penandatanganan Framework Agreement yang dilakukan oleh Plt. Direktur Utama Pertamina, Muhamad Husen, dengan Chairman of Board of Director Sonangol EP, Francisco de Lemos Jose Maria, yang disaksikan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla dan Wakil Presiden Republik Angola, Manuel Domingos Vicente, di kantor Wakil Presiden RI, Jalan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat, (31/10/2014).
Husein dalam rilisnya menyebutkan Framework Agreement akan menjadi kerangka kerjasama Pertamina-Sonangol dalam pengembangan bisnis hulu, proyek kilang petroleum dan petrokimia serta kerjasama impor dan ekspor produk kilang, minyak mentah dan gas bumi.
Kata dia dalam waktu tujuh hari ke depan, Pertamina dan Sonangol EP akan membentuk Gugus Tugas sehingga perusahaan patungan bisa dibentuk untuk merealisasikan berbagai kerjasama yang akan diinisiasi. Perusahaan patungan tersebut selanjutnya akan melakukan berbagai persiapan detail proyek-proyek serta pelaksanaannya yang disepakati oleh Pertamina dan Sonangol.
“Proyek pembangunan kilang itu sangat diperlukan Indonesia untuk menjamin ketahanan energi nasionalnya,” katanya.
Konsumsi BBM di Indonesia terus tumbuh sekitar 8% per tahun, di sisi lain tingkat produksi minyak mentah menurun dan kapasitas kilang tidak bertambah. Menurut Husein Pertamina terus berupaya mendukung pemerintah untuk menjamin ketahanan energi nasional, baik melalui upaya-upaya peningkatan produksi di hulu yang bersumber dari dalam maupun luar negeri, peningkatan kapasitas kilang, dan juga upaya konversi dan diversifikasi energi.
“Pertamina optimis bahwa dalam kurun waktu 5-6 tahun ke depan Indonesia akan bisa swasembada energi. Untuk itu Pertamina siap menjadi tulang punggung dalam mencapai upaya tersebut,” tandasnya.
Pengamat: Pemerintah Mesti Transparan Soal Kerja Sama Migas dengan Angola
Terkait penandatanganan yang dilakukan Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo melakukan perjanjian internasional pertamanya, Jumat (31/10/2014) kemarin. Bertempat di kantor Wakil Presiden RI, Jakarta, Pelaksana Tugas Direktur Utama Pertamina Muhamad Husen menandatangani Framework Agreement dengan Chairman of Board of Director Sonangol EP, Francisco de Lemos Jose Maria.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang turut menyaksikan penandatangan tersebut menyatakan, perjanjian ini merupakan usaha pemerintah menyeimbangkan kebutuhan dan produksi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri.
JK mengatakan, produksi BBM dalam negeri yang hanya 800 ribu barel per hari tak mampu memenuhi kebutuhan BBM yang kini telah mencapai 1,6 juta barel per hari. Permintaan BBM dalam negeri naik delapan persen setiap tahun.
Langkah yang diambil pemerintah ini diapresiasi pengamat energi, Mamit Setiawan. Ia menganggap perjanjian ini dapat mengurangi dan membatasi peran trader atau maling minyak. “Membeli langsung ke negara produsen merupakan usaha yang cukup bagus,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (1/11/2014).
Namun pengamat dari Energy Watch ini heran, proses penjajakan perjanjian berlangsung begitu cepat. Ia menuturkan belum pernah mendengar kajian pemerintah terkait impor BBM dari Angola.
Mamit khawatir, perjanjian ini telah direncanakan cukup lama oleh mereka yang mengincar keuntungan tertentu. “Jangan sampai istilah kejar setoran terjadi,” katanya.
Untuk membuktikan mafia migas tidak berperan dalam perjanjian ini, Mamit berkata, pemerintah harus transparan soal harga beli dan jenis minyak yang diimpor, termasuk biaya pengapalannya. Dengan membuka data tersebut ke publik, masyarakat bisa turut menghitung penghematan anggaran yang bisa dilakukan pemerintah.
Sebagaimana diketahui, Menteri ESDM Sudirman Said, Jumat kemarin mengungkapkan, pembelian minyak ke Angola bisa menghemat kas negara hingga USD 2,5 juta perhari atau Rp 15 triliun dalam setahun.
Tak hanya mengimpor BBM, Pertamina juga akan membangun kilang dengan Sonangol. Kedua perusahaan berplat merah itu nantinya akan mendirikan perusahaan joint venture untuk merealisasikan agenda tersebut.
Berdasarkan data Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), Angola merupakan negara penghasil minyak terbesar kedua di Benua Afrika, di bawah Nigeria. Pertumbuhan ekonomi mereka yang pesat pasca-perang sipil ditopang sektor ini.
OPEC menulis, produksi minyak berkontribusi sebanyak 45 persen pada gross domestic product (GDP) Angola. Bahkan, 95 persen ekspor negara yang berada di Afrika bagian utara ini berasal dari sektor perminyakan.
Badan Administrasi dan Informasi (EIA) Amerika Serikat mencatat, pada tahun 2013 produksi minyak Angola mencapai 1,7 juta barel per hari. Saat ini, produksi minyak Angola sepenuhnya dilakukan lepas pantai (offshore), yakni di Cekungan Bawah Kongo dan Pantai Cabinda.
Disisi lain Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, tengah mencari sosok yang akan menjabat Komisaris maupun Direktur Utama Pertamina. Rini yang diduga ikut masuk daftar merah di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, berjanji dalam waktu dua minggu segera menentukan kepada siapa posisi itu diberikan.
Beberapa pengamat dan praktisi berharap posisi tersebut, bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Mereka meminta agar lagi-lagi KPK dan lembaga penegak hukum lainnya ikut dilibatkan dalam proses rekam jejak para pejabat struktural ini. Hal tersebut, tentu guna mencegah adanya praktek KKN.
KPK sendiri melalui Deputi pencegahan Johan Budi menyatakan kesiapan untuk merekam jejak para calon pejabat Pertamina. Salah satu nama yang kini masuk, yakni Raden Priyono, mantan Ketua BP Migas yang disebut-sebut terlibat kasus sewa kapal tanker Joko Tole
“Tentu saja KPK menyambut baik jika memang dilibatkan dalam seleksi calon pejabat struktural,” kata Johandi konfirmasi wartawan, Minggu (2/11/2014).
Tidak hanya itu, Johan juga menegaskan pihaknya berencana mengkaji sejumlah persoalan di sektor migas, salah satunya menyoroti Pertamina.
“KPK akan lakukan kajian pengelolaan migas,” kata juru bicara KPK tersebut.
Kabar yang berkembang, Rini Seomarno disebut-sebut akan mencalonkan nama Ahmad Faisal dan Hari Karyulianto untuk mengisi posisi Direktur Utama Pertamina yang ditinggalkan Karen Agustiawan sejak 1 Oktober lalu.
Selain itu, Rini pun disebut ingin memasukan Ari Soemarno, yang tak lain adalah kakak kandungnya untuk posisi Komisaris Utama Pertamina.
Ari dan Rini, pernah diperiksa untuk dua kasus yang berbeda yang kini menggantung penanganan kasusnya di KPK. Ari Soemarno diperiksa untuk kasus innospec, sementara Rini diperiksa untuk penyelidikan kasus Surat Keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Meski begitu Rini sudah membantah nama-nama itu akan dimasukan di struktur Pertamina.
Nama yang baru yang kini muncul yakni Raden Priyono. Raden Priyono, menurut Kordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas, ditengarai mengetahui sepak terjang PT Kernel Oil Pte Ltd sejak SKK Migas masih bernama BP Migas.
Selain itu, Raden Priyono juga diduga terlibat dalam pengadaan kapal tanker Joko Tole. Pada kasus ini, ada aroma tak sedap terkait dugaan mark up penyewaan kapal Floating Production Unit (FPU) BW Joko Tole yang dilakukan Kangean Energy Indonesia Ltd, anak usaha PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), unit usaha Grup Bakrie
Harga sewa mengalami peningkatan beberapa kali. Semula, masa umur sewa 5 tahun dinaikkan menjadi 14 tahun, harga kapal disewa senilai 400 juta dollar AS, lalu meningkat menjadi 870 juta dollar AS, dan terakhir menjadi 1,2 miliar dollar AS. Ini berarti ada mark up hingga 700 juta dollar AS setara dengan Rp 7 triliun.
Migas memang sangat menggiurkan bagi kalangan “bajingan minyak”. Karenanya dengan berbagai alasan pemerintah sebelum era Presiden Joko Widodo selalu mencari dalih menggagalkan pengolahan minyak pengeboran (ekplorasi) pertambangan.
Tujuannya agar mereka tetap bisa mempermainkan harga, kebutuhan, subsidi serta penguasaan industri minyak sejak Hilir hingga Hulu. Para Bajingan minyak ini, diprediksi menikmati hasil permalingan minyaknya di negeri ini mencapai tidak kurang Rp 100 Miliar dalam sehari.
Sementara Pemerintahan Jokowi-Jk dalam 10 hari masa pemerintahannya telah mampu menyelamatkan kekayaan negara dengan nilai sekitar Rp 15 Triliun. Coba bandingkan dengan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang memerintah selama 10 tahun belakangan ini?
SUMBER: siagaindonesia.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment