“Kalau kita mandiri tidak perlu melakukan impor karena bisa memenuhi kebutuhan energi sendiri,” ujar Direktur Reforminer Institute Pri Agung Rachmanto kepada Rakyat Merdeka.RMOL.Pemerintah dinilai tidak mendukung kemandirian nasional dan lebih mengutamakan investor asing dalam pengelolaan blok minyak dan gas bumi (migas) di dalam negeri.
Menurut dia, untuk mencapai kemandirian energi pemerintah harus memperhatikan suplai, jadi tidak hanyaresourses semata. Selain itu, infrastruktur juga perlu ditingkatkan.
Tapi yang terjadi saat ini, BUMN tidak mempunyai akses langsung ke migas. Ia mencontohkan Pertamina harus bersusah payah mendapatkan blok migas di wilayahnya sendiri.
Pri Agung menilai, pemerintah sangat tergantung kepada investor asing dalam melakukan eksplorasi karena tidak mau mengeluarkan anggaran.
Seharusnya, jika perduli kepada kemandirian energi, pemerintah memberikan insentif kepada Pertamina untuk melakukan ekplorasi di dalam negeri.
Menurutnya, Indonesia masih kekurangan terminal infrastruktur receiving gas. Pasalnya, banyak investor yang tidak tertarik berinvestasi karena balik modalnya lama.
Pri Agung juga mencontohkan proyek listrik 10 ribu megawatt PLN tidak dibarengi dengan pro aktif pemerintah. Alhasil, BUMN listrik itu harus mencari dananya sendiri sementara pemerintah tidak mau memberikan jaminan. “Inilah yang membuat terhambatnya penyelesaian proyek tersebut,” ucap Pri Agung.
Selain itu, PLN juga kesulitan untuk mendapatkan energi primernya untuk pembangkitnya. Padahal, pemerintah mempunyai dana untuk membanguan infrastruktur energi. Itu bisa dilihat setiap tahun pemerintah harus mengeluarkan triliunan rupiah untuk mensubsidi energi.
“Yang terjadi sekarang, pemerintah eksplorasi tidak mau, bangun infrastruktur juga tidak mau. Kita tidak anti asing karena kita membutuhkan banyak terobosan,” paparnya.
Untuk meningkatkan cadangan, yang harus dilakukan pemerintah adalah meningkatkan produksi dan mempermudah birokrasinya.
Untuk energi baru dan terbarukan (EBT) juga sulit dilakukan seperti konversi energi dari minyak tanah ke elpiji. “Harus ada prioritas mana yang diutamakan,” katanya.
Vice President Corporate Comunication Pertamina M Harun mengaku, saat ini pihaknya kesulitan untuk mendapatkan blok-blok migas dalam negeri. Padahal, permintaan BBM dan gas terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
“Untuk solar naik 6 persen per tahun, sedangkan premium 8 persen per tahun. Padahal sumber energi fosil setiap tahunnya terus menurun,” ujar Harun.
Karena itu, Pertamina meminta pengelolaan gas yang sudah habis diserahkan kepada perusahaan pelat merah tersebut karena risikonya sudah kecil. “Kita tidak anti asing, tapi sebaiknya asing diserahkan ke daerah yang risikonya besar,” jelas Harun.
Ia juga meminta pemerintah tidak terlalu membuka diri terhadap asing dalam melakukan eksplorasi migas.
Selain itu, pemerintah juga harus mempemudah pembangunan kilang minyak di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan migas.
Namun, Dirjen Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kardaya Warnika menegaskan, pemerintah selalu mendukung dan mengutamakan BUMN dalam negeri untuk mengelola blok migas dalam negeri.
Kardaya mengatakan, dalam ketentuan undang-undang disebutkan jika wilayah kerja (WK) habis, Pertamina diberikan kesempatan pertama untuk meminta mengelolanya.
Nanti, pemerintah akan mengkaji dari berbagai aspek, yaitu soal pendanaan lalu kemampuan teknologi. Sedangkan untuk blok migas baru, Pertamina akan diberikan kesempatan pertama untuk memilihnya. Sisanya baru ditenderkan ke investor asing. “Dalam proses tender, Pertamina juga di-spesialkan dengan tidak ikut tender,” terangnya.
Kardaya mengatakan, Indonesia memang memiliki banyak sumber daya migas tapi tidak kaya. Menurutnya, ada tiga faktor dalam memenuhi ketahanan energi, yakni ketersediaan, infrastruktur dan daya beli. “Kenapa PLN dan industri kekurangan, karena kita kekurangan infrastruktur,” tandasnya.
sumber : RMOL
No comments:
Post a Comment